MASALAH GIZI DAN CARA
PENANGGULANGANNYA
Prof. M.
Gabr, guru besar ilmu kesehatan anak dan gizi dari Universitas Kairo, menyatakan
bahwa abad ke-20 adalah “the Golden Age for Nutrition” atau
“Abad Emas” bagi pergizian dunia. Pendapat tersebut disampaikan pada
kuliah perdana Kongres Ke-VII Asosiasi Gizi se Dunia (IUNS) di
Vienna, Austria tgl. 27 sampai 29 Agustus 2001. Abad ke-20 adalah
abad ditemukannya hampir semua zat gizi makro dan mikro. Kebutuhan
gizi manusia ditetapkan. Hubungan antara gizi dan kesehatan
didokumentasikan. Dampak negatif dari masalah gizi-kurang dan gizi-lebih
makin diketahui dengan lebih baik, dan sebagainya. Bidang pertanian juga
mencatat “revolusi hijau” dan terakhir teknologi rekayasa genetik
yang berperan dalam peningkatan produksi dan kualitas pangan. Sejalan
dengan itu berbagai intervensi gizi telah menjadi program nasional di
banyak negara. Secara global intervensi gizi berperan penting
dalam upaya penurunan angka kematian bayi. Di banyak negara
berkembang intervensi berhasil menurunkan prevalensi KEP, kurang
vitamin A, dan kurang yodium.
Dibalik
“cerita” sukses, abad ke-20 masih mencatat sisi gelap dalam
hal masalah gizi. FAO memperkirakan tahun 1999 sekitar 790 juta
penduduk dunia kelaparan. Sekitar 30 persen penduduk dunia yang terdiri
dari bayi, anak, remaja, dewasa, dan manula, menderita kurang gizi.
Hampir separo (49 persen) kematian balita berkaitan dengan
masalah kurang gizi (gizi kurang). Dalam waktu yang sama, dunia maju
menghadapi epidemi masalah kelebihan gizi (gizi lebih) dalam bentuk
obesitas dan penyakit degeneratif seperti penyakit
jantung, hipertensi, stroke dan diabetes. Bahwa masalah gizi kurang dan
gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia,
saya kira sudah disadari oleh pemerintah dan masyarakat, khususnya di
kalangan kesehatan.
Hanya saja
kita di Indonesia masih terlalu memusatkan perhatian pada masalah gizi
makro terutama dalam hal KEP seperti halnya puluhan tahun lalu. Pada hal
penelitian gizi terkini juga menunjukkan makin seriusnya masalah
gizi mikro terutama kurang zat besi, zat yodium, zat seng (Zn), dan
kurang vitamin A. Kita juga masih menekankan pada masalah gizi anak balita
(bawah lima tahun), padahal masalah lebih gawat pada anak dibawah tiga
tahun dan dua tahun. Sangat sedikit penelitian dan data mengenai masalah
gizi lebih yang juga mulai mengancam penduduk yang ekonominya maju.
Saya tidak akan menyajikan angka mengenai berbagai masalah gizi di
Indonesia karena hal tersebut dibahas dan disajikan pada makalah
lain.
Meskipun
selama 10 tahun terakhir terdapat kemajuan dalam penanggulangan masalah
gizi di Indonesia, tetapi apabila dibanding dengan beberapa negara Asean
seperti Thailand, prevalensi berbagai masalah gizi khususnya gizi
kurang dan gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Perlu dipertanyakan
mengapa kita tertinggal dengan negara-negara tetangga.
Salah satu sebab, menurut hemat saya adalah adanya perbedaan
paradigma dalam kebijakan program gizi. Paradigma adalah model atau
pola pikir menghadapi suatu hal atau masalah. Sebagai contoh
Thailand. Pada tahun 1982 lebih dari separo anak balita Thailand
bergizi kurang atau buruk (underweight). Dalam waktu kurang dari sepuluh
tahun Thailand sudah dinyatakan oleh berbagai badan PBB sebagai negara yang
bebas gizi-buruk (BB/U < - 3SD). Prevalensi gizi kurang (diantara minus
3SD dan minus 2SD) juga berkurang secara nyata. Seperti halnya
di Indonesia, masalah kurang vitamin A klinik (Xeropthalmia) juga
telah diberantas.
Angka
kematian ibu melahirkan turun drastic dari 230 tahun 1992 menjadi
17 per 100.000 tahun 1996. Salah satu kebijakan dan program
gizi di Thailand memberikan perhatian besar terhadap data status gizi
anak. Sejak tahun 1982 mereka mempunyai datanasional tahunan perkembangan
berat badan balita dan anak sekolah. Dalam kebijakan pembangunan
nasional secara konsisten memasukkan status gizi anak sebagai salah satu
indikator kemiskinan. Atas dasar perkembangan status gizi anak
program gizi disusun sebagai bagian dari program penanggulangan kemiskinan.
Thailand mengukur kemajuan kesejahtraan rakyatnya antara lain dengan
indikator pertumbuhan berat badan anak, bukan hanya dengan
berapa rata-rata persediaan atau konsumsi energi dan protein penduduk
seperti yang sering kita lakukan di Indonesia. Paradigma kebijakan
gizi di Thailand adalah paradigma outcome yaitu pertumbuhan anak dan
status gizi.
Sedang kita masih lebih banyak
mengetrapkan paradigma lama yang berorientasi pangan atau makanan. Paradigma
baru bertitik tolak pada indikator kesehatan, dan kesejahteraan rakyat
yaitu angka penyakit dan angka kematian bayi dan ibu melahirkan.
Oleh karena menurut WHO (2000) 49 persen kematian bayi terkait dengan
status gizi yang rendah, maka dapat dimengerti apabila pertumbuhan
dan status gizi termasuk indikator kesejahteraan seperti ditrapkan di
Thailand. Paradigma baru menekankan pentingnya outcome daripada
input. Persediaan pangan yang cukup (input) di masyarakat tidak menjamin
setiap rumah tangga dan anggota memperoleh makanan yang cukup dan status
gizinya baik.
Banyak faktor lain yang dapat mengganggu
proses terwujudnya outcome sesuai dengan yng diharapkan.
Paradigma input sering melupakan faktor lain tersebut, diantaranya
air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan
dasar.
Dalam makalah ini akan dibahas apa
dan bagaimana paradigma baru untuk program gizi yang mendorong dipakainya
pola pertumbuhan dan status gizi anak sebagai salah satu
indikator kesejahteraan. Oleh karena paradigma program gizi terkait
dengan pemahaman akan arti istilah gizi dan masalah gizi, Secara umum di
Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi makro dan kurang gizi mikro Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang
disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein. Masalah gizi makro adalah masalah gizi yang utamanya disebabkan
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan energi dan protein. Kekurangan
zat gizi makro
umumnya disertai dengan kekurangan zat gizi mikro.
Data Susenas
menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang menurun dari 37,5 % (1989)
menjadi 24,6 % (2000). Namun kondisi tersebut tidak diikuti dengan penurunan
prevalensi gizi buruk bahkan
prevalensi gizi buruk cenderung
meningkat.
Gizi buruk adalah
suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau
dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang
dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di
Indonesia, kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah
salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita.
Masalah gizi
dalam konsep system “input-outcome”.
Gizi dan masalah gizi selama ini
dipahami sebagai hubungan sebab- akibat antara makanan (input) dengan kesehatan
(outcome). Pada satu pihak masalah gizi dapat dilihat sebagai masalah
input, tetapi juga sebagai outcome. Dalam menyusun kebijakan harus jelas
mana yang dipakai sebagai titik tolak apakah input atau outcome. Apabila
masalah gizi dianggap sebagai masalah input maka titik tolak identifikasi
masalah adalah pangan, makanan (pangan diolah) dan konsumsi. Apabila
masalah gizi dilihat sebagai outcome, maka identifikasi masalah
dimulai pada pola pertumbuhan dan status gizi anak. (lihat bagan)
Selama kebijakan program gizi
mengikuti paradigma input, maka indikator masalah gizi akan mengikuti
indikator agregatif pertanian dan ekonomi makro seperti produksi,
persediaan (impor-ekspor), harga dan konsumsi pangan rata- rata. Indikator
makro ini memberi gambaran masalah gizi rata-rata rumah tangga dan
orang dewasa. Hukum Bennet misalnya memprediksi apabila
pendapatan rata-rata rumah tangga meningkat akan diikuti perbaikan
kualitas makanan (orang dewasa). Proporsi energi dari sumber karbohidrat
menurun dan dari sumber lemak dan protein meningkat. Hukum Bennet tidak
dapat menggambarkan apa yang terjadi pada diri anggota keluarga, terutama
anak dan wanita hamil, apabila terjadi peningkatan pendapatan keluarga,
termasuk eksesnya bagi orang dewasa perkotaan. Peningkatan konsumsi
makanan hewani sumber lemak dapat menjurus ke masalah gizi lebih.
Pendekatan agregatif semacam ini, tidak menyentuh ukuran status
gizi. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila pada suatu saat
terjadi letusan gizi buruk pada masa persediaan pangan berlimpah.
Indikator agregatif tidak akan menjangkau masalah gizi mikro.
Paradigma
outcome mengukur manusia bukan pangan atau uang.
Paradigma ini memerlukan
pemasyarakatan pentingnya memperhatikan berat badan baik pada anak maupun
orang dewasa. Pada anak yang diperhatikan adalah pertumbuhan berat
dan tinggi badan serta status gizinya. Pengertian bahwa anak sehat
bertambah umur bertambah berat dan panjang perlu ditanamkan kepada
setiap keluarga. Di perdesaan sudah lama diperkenalkan KMS untuk
mencatat hasil penimbangan bulanan anak balita di Posyandu. Sayangnya
fungsi Posyandu beberapa tahun terakhir ini tidak menentu arahnya.
Penimbangan berat badan anak sebagai kegiatan pokok Posyandu
menjadi kegiatan sampingan dan tidak jelas manfaatnya. meletusnya
“wabah” gizi-buruk pada saat krisis ekonomi tahun 1997 dan 1998 sebenarnya
dapat dicegah apabila kegiatan penimbangan di Posyandu berfungsi
seperti keadaan tahun 1970 dan 1980-an.
Pada masa itu kualitas pelayanan
Posyandu menjadi kebanggaan nasional dan internasional. Untuk orang dewasa
paradigma outcome menekankan pentingnya orang mencapai berat badan ideal
dan mempertahankanya. Pesan itu menjadi pesan pertama dalam Pedoman Gizi
Seimbang Amerika tahun 2000. Baru kemudian menyusul pesan lain bagaimana
mengatur dan memilih makanan untuk mempertahankan berat badan.
PenyebabNgiziNburuk
Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk. Menurut UNICEF ada dua penyebab langsung terjadinya gizi buruk, yaitu :
Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk. Menurut UNICEF ada dua penyebab langsung terjadinya gizi buruk, yaitu :
yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi
unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan
sosial dan ekonomi yaitu
kemiskinan.
(2)
Akibat terjadinya penyakit yang
mengakibatkan infeksi. Hal ini
disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga
tidak bisa menyerap zat-zat makanan secara
baik.
IndikasiNGiziNBuruk
Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang bisa dijumpai pada anak adalah berupa kondisi badan yang tampak kurus. Sedangkan gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar bisa dibedakan menjadi tiga tipe: marasmus, kwashiorkor dan marasmic-kwashiorkor.
Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang bisa dijumpai pada anak adalah berupa kondisi badan yang tampak kurus. Sedangkan gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar bisa dibedakan menjadi tiga tipe: marasmus, kwashiorkor dan marasmic-kwashiorkor.
Kwasiorkor
Memiliki ciri:
Memiliki ciri:
membulat dan lembab;
(2) pandangan mata sayu;
(5) terjadi pembesaran hati;
menjadi coklat kehitaman lalu terkelupas
(crazy pavement dermatosis);
Marasmus
Memiliki ciri-ciri:
Memiliki ciri-ciri:
(4) kulit
menjadi keriput;
Adapun marasmic-kwashiorkor memiliki ciri gabungan
dari beberapa gejala klinis
kwashiorkor dan marasmus disertai edema yang tidak
mencolok.
(1) Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI)
sampai anak berumur 6 bulan. Setelah
itu, anak mulai
dikenalkan dengan makanan tambahan
sebagai pendamping ASI yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah
berumur 2 tahun.
(2) Anak diberikan makanan yang
bervariasi, seimbang antara kandungan protein, lemak, vitamin dan
mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk lemak minimal 10%
dari total kalori yang
dibutuhkan, sementara protein 12% dan
sisanya karbohidrat.
(3) Rajin menimbang dan mengukur
tinggi anak dengan
mengikuti program Posyandu.
Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika
tidak sesuai, segera konsultasikan hal itu ke dokter.
(4) Jika anak dirawat di rumah sakit karena
gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada petugas pola dan jenis makanan yang harus
diberikan setelah pulang dari rumah sakit.
(5) Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang tinggi
dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula.
Sedangkan untuk proteinnya bisa diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya
sudah terlihat mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin penting
lainnya. Penanganan dini sering
kali membuahkan hasil yang baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa
dilakukan dengan meningkatkan kondisi kesehatan secara
umum. Namun, biasanya akan meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang
permanen dan akan muncul masalah intelegensia di kemudian hari.
GagalNTumbuh
Gagal tumbuh adalah bayi atau anak dengan pertumbuhan fisik kurang secara bermakna dibanding anak sebayanya.
Gagal tumbuh adalah bayi atau anak dengan pertumbuhan fisik kurang secara bermakna dibanding anak sebayanya.
Tanda-tandanya:
Faktor penyebab:
mendasar sering kali tidak bisa dipenuhi.
bahan pangan.
- Pada stadium ringan dengan perbaikan gizi.
- Pengobatan pada stadium berat cenderung lebih kompleks karena masing-masing penyakit harus diobati satu persatu. Penderitapun sebaiknya dirawat di Rumah Sakit untuk mendapat perhatian medis secara penuh.
Kelambanan
Indonesia menangani masalah gizi makro dalam bentuk gizi kurang dan
gizi buruk ada kaitannya dengan kebijakan program gizi kita yang
masih mengedepankan pangan, makanan dan konsumsi sebagai penyebab
utama masalah gizi. Kebijakan ini cenderung mengabaikan peran faktor
lain sebagi penyebab timbulnya masalah gizi seperti air bersih, kebersihan
lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar.
Akibatnya
program gizi lebih sering menjadi program sektoral yang masing-masing
berdiri sendiri dengan persepsi berbeda mengenai masalah gizi dan
indikatornya. Kebijakan ini dalam makalah ini saya sebut sebagai kebijakan
dengan paradigma input. Salah satu kelemahan paradigma
input bagi program perbaikan gizi adalah digunakannya indikator
agregatif makro seperti persediaan energi dan protein perkapita. Indikator
ini tidak dapat menggambarkan keadaan sesungguhnya diri individu anggota
keluarga terutama anak dan wanita. Paradigma ini tidak mengenal indikator pertumbuhan
anak dan status gizi yang mengukur “the real thing”. Sudah saatnya
indikator pertumbuhan dan status gizi anak menjadi salah satu
indikator kesejahteraan. Untuk itu program gizi memerlukan
pendekatan paradigma baru, yang didalam makalah ini saya
namakan paradigma outcome. Dengan paradigma ini beberapa hal
dibawah ini memerlukan perhatian lebih besar dalam program gizi
.
Pertama, dalam
menangani masalah gizi makro, khususnya kurang energi protein, titik
tolak kebijakannya terletak pada adanya pertumbuhan dan
status gizi anak yang tidak normal. Dengan demikian tujuan program
adalah memperbaiki pola pertumbuhan anak dan status gizi anak dari tidak
normal menjadi normal atau lebih baik. Oleh karena pola pertumbuhan dan
status gizi anak tidak hanya disebabkan oleh makanan, maka pendekatan
ini mengharuskan program gizi dikaitkan dengan kegiatan program lain
diluar program pangan secara konvergen seperti dengan program air bersih
dan kesehatan lingkungan, imunisasi, penyediaan lapangan kerja
dan penanggulangan kemiskinan. Dengan program yang bersifat
terintegrasi seperti itu, program gizi akan rasional untuk menjadi bagian dari
pembangunan nasional secara keseluruhan. Kebijakan ini pada dasarnya telah
diberlakukan pada Repelita II sampai VI dalam Bab Pangan dan Gizi.
Sayangnya banyak kebijakan Repelita yang lalu tidak terlaksana dengan
semestinya.
Kedua, kegiatan
pemantauan berat badan dan tinggi badan anak balita dan sekolah akan
menjadi modal utama bagi program gizi. Survei gizi
nasional secara periodik dan terprogram seharusnya menjadi kebijakan
nasional seperti dilakukan di Thailand dan di banyak negara lain.
Pelaksanaannya dapat melalui Susenas atau lembaga
lain yang ada. Kegiatan ini perlu didukung oleh
sistem pemantauan status gizi anak yang representatif mewakili
daerah-daerah yang tidak terjangkau survey gizi nasional.
Ketiga, revitalisasi
Posyandu dikatakan berhasil apabila dapat mengembalikan fungsi utamanya
sebagai lembaga masyarakat, terutama masyarakat desa untuk memantau
pertumbuhan anak. Kegiatan pendidikan dan pelatihan pada ibu-ibu bagaimana
menimbang dan mencatat di KMS pertumbuhan berat badan anak
serta dapat mengartikan KMS dengan baik, merupakan kunci
keberhasilan revitalisasi Posyandu. Kegiatan penimbangan diutamakan pada
anak dibawah tiga atau dua tahun sesuai dengan perkembangan masalah
yang diketahui dari hasil penelitian mutakhir. Tolok ukur lain keberhasilan
revitalisasi posyandu ialah mengkoreksi kesalahan para petugas gizi dan
kesehatan yang selama ini dilakukan yang menggunakan
KMS sebagai catatan status gizi. Konsep penyimpangan
pertambahan dari batas normal atau “growth faltering” sudah waktunya diajarkan
dan latihkan kepada petugas gizi dan kesehatan serta kader.
Keempat, secara bertahap perlu ada “perombakan” kurikulum
di lembaga pendidikan tenaga gizi di semua tingkatan untuk lebih memahami
perlunya paradigma baru yang berorientasi pertumbuhan dan status
gizi anak sebagai titik tolak dan tujuan program.
KESIMPULAN
Gizi buruk adalah
suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau
dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang
dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori.
Dalam
menangani masalah gizi makro, khususnya kurang energi protein, titik
tolak kebijakannya terletak pada adanya pertumbuhan dan
status gizi anak yang tidak normal. Dengan demikian tujuan program
adalah memperbaiki pola pertumbuhan anak dan status gizi anak dari tidak
normal menjadi normal atau lebih baik. Oleh karena pola pertumbuhan dan
status gizi anak tidak hanya disebabkan oleh makanan, maka pendekatan
ini mengharuskan program gizi dikaitkan dengan kegiatan program lain
diluar program pangan secara konvergen seperti dengan program air bersih
dan kesehatan lingkungan, imunisasi, penyediaan lapangan kerja
dan penanggulangan kemiskinan. Dengan program yang bersifat
terintegrasi seperti itu, program gizi akan rasional untuk menjadi bagian dari
pembangunan nasional secara keseluruhan.
DAFTAR ISI
Anonim.
2007. Ciri-Ciri Kurang Gizi. Diakses 15 Desember 2008: Portal Kesehatan Online.
Anonim. 2008. Kalori Tinggi Untuk Gizi Buruk. Diakses 15 Desember 2008: Republika Online.
Nency, Y. 2005. Gizi Buruk, Ancaman Generasi Yang Hilang. Inpvasi Edisi Vol. 5/XVII/ November 2005: Inovasi Online
Notoatmojo, S. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan Ke-2. Jakarta: Rineka Cipta
Anonim. 2008. Kalori Tinggi Untuk Gizi Buruk. Diakses 15 Desember 2008: Republika Online.
Nency, Y. 2005. Gizi Buruk, Ancaman Generasi Yang Hilang. Inpvasi Edisi Vol. 5/XVII/ November 2005: Inovasi Online
Notoatmojo, S. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan Ke-2. Jakarta: Rineka Cipta
Disajikan
oleh Dwi Trisnawati, Novita Kusuma Astuti, Nuraini, Nurhuda, Rian Motik, Sri
Winahyu & Yulita Eka Fatmawati (Mahasiswi Akbid KH Angkatan 2008)
How To Play Baccarat | How To Play - FBCasino
BalasHapusBaccarat is one of the most kadangpintar popular betting games in the gambling world. When it comes to playing the 바카라 사이트 game, you have to guess which hand to choose from. deccasino