Senin, 09 April 2012

makalah gizi dan penanggulangannya

MASALAH GIZI DAN CARA PENANGGULANGANNYA

Prof. M. Gabr, guru besar ilmu kesehatan anak dan gizi dari Universitas Kairo, menyatakan bahwa abad ke-20 adalah “the Golden Age for  Nutrition” atau  “Abad Emas” bagi pergizian dunia. Pendapat tersebut disampaikan pada kuliah perdana  Kongres Ke-VII Asosiasi Gizi se Dunia (IUNS) di Vienna, Austria tgl. 27 sampai 29 Agustus 2001. Abad ke-20 adalah abad ditemukannya hampir semua zat gizi makro dan mikro. Kebutuhan gizi manusia ditetapkan. Hubungan antara gizi dan kesehatan didokumentasikan. Dampak negatif dari masalah gizi-kurang dan gizi-lebih makin diketahui dengan lebih baik, dan sebagainya. Bidang pertanian juga mencatat “revolusi hijau” dan terakhir teknologi rekayasa genetik yang berperan dalam peningkatan produksi dan kualitas pangan. Sejalan dengan itu berbagai intervensi gizi telah menjadi program nasional di banyak negara. Secara global intervensi gizi berperan penting dalam upaya penurunan angka kematian bayi. Di banyak negara berkembang  intervensi berhasil menurunkan prevalensi KEP, kurang vitamin A, dan kurang yodium.  
Dibalik “cerita” sukses, abad ke-20 masih mencatat  sisi gelap  dalam hal masalah gizi. FAO memperkirakan tahun 1999 sekitar 790 juta penduduk dunia kelaparan. Sekitar 30 persen penduduk dunia yang terdiri dari bayi, anak, remaja, dewasa, dan manula, menderita kurang gizi. Hampir separo (49 persen) kematian balita berkaitan dengan masalah kurang gizi (gizi kurang). Dalam waktu yang sama, dunia maju menghadapi epidemi masalah kelebihan gizi (gizi lebih) dalam bentuk obesitas dan penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, hipertensi, stroke dan diabetes. Bahwa masalah gizi kurang dan gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, saya kira sudah disadari oleh pemerintah dan masyarakat, khususnya di kalangan kesehatan.
Hanya saja kita di Indonesia masih terlalu memusatkan perhatian pada masalah gizi makro terutama dalam hal KEP seperti halnya puluhan tahun lalu. Pada hal penelitian gizi terkini juga menunjukkan makin seriusnya masalah gizi mikro terutama kurang zat besi, zat yodium, zat seng (Zn), dan kurang vitamin A. Kita juga masih menekankan pada masalah gizi anak balita (bawah lima tahun), padahal masalah lebih gawat pada anak dibawah tiga tahun dan dua tahun. Sangat sedikit penelitian dan data mengenai masalah gizi lebih yang juga mulai mengancam penduduk yang ekonominya maju. Saya tidak akan menyajikan angka mengenai berbagai masalah gizi di Indonesia karena hal tersebut dibahas dan disajikan pada makalah lain. 
Meskipun selama 10 tahun terakhir terdapat kemajuan dalam penanggulangan masalah gizi di Indonesia, tetapi apabila dibanding dengan beberapa negara Asean seperti Thailand, prevalensi berbagai masalah gizi khususnya gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Perlu dipertanyakan mengapa kita tertinggal dengan negara-negara tetangga.  Salah satu sebab, menurut hemat saya adalah adanya  perbedaan paradigma dalam kebijakan program gizi. Paradigma adalah model atau pola pikir menghadapi suatu hal atau masalah. Sebagai contoh Thailand. Pada tahun 1982 lebih dari separo anak balita Thailand bergizi kurang atau buruk (underweight). Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun Thailand sudah dinyatakan oleh berbagai badan PBB sebagai negara yang bebas gizi-buruk (BB/U < - 3SD). Prevalensi gizi kurang (diantara minus 3SD dan minus 2SD) juga berkurang secara nyata. Seperti halnya di Indonesia, masalah  kurang vitamin A klinik (Xeropthalmia) juga telah diberantas. 
Angka kematian ibu melahirkan turun drastic dari 230 tahun 1992 menjadi 17  per 100.000 tahun 1996. Salah satu kebijakan dan program gizi di Thailand memberikan perhatian besar terhadap data status gizi anak. Sejak tahun 1982 mereka mempunyai datanasional tahunan perkembangan berat badan balita dan anak sekolah. Dalam kebijakan pembangunan nasional secara konsisten memasukkan status gizi anak sebagai salah satu indikator kemiskinan.  Atas dasar perkembangan status gizi anak program gizi disusun sebagai bagian dari program penanggulangan kemiskinan. Thailand mengukur kemajuan kesejahtraan rakyatnya antara lain dengan indikator pertumbuhan berat badan anak, bukan hanya dengan berapa rata-rata persediaan atau konsumsi energi dan protein penduduk seperti yang sering kita lakukan di Indonesia.  Paradigma kebijakan gizi di Thailand adalah paradigma outcome yaitu pertumbuhan anak dan status gizi.
            Sedang kita masih lebih banyak mengetrapkan paradigma lama yang berorientasi pangan atau makanan. Paradigma baru bertitik tolak pada indikator kesehatan, dan kesejahteraan rakyat yaitu angka penyakit dan angka kematian bayi dan ibu melahirkan. Oleh karena menurut WHO (2000) 49 persen kematian bayi terkait dengan status gizi yang rendah, maka dapat dimengerti apabila pertumbuhan dan status gizi termasuk indikator kesejahteraan seperti ditrapkan di Thailand. Paradigma baru menekankan pentingnya outcome daripada input. Persediaan pangan yang cukup (input) di masyarakat tidak menjamin setiap rumah tangga dan anggota memperoleh makanan yang cukup dan status gizinya baik.
 Banyak faktor lain yang dapat mengganggu  proses terwujudnya outcome sesuai dengan yng diharapkan. Paradigma input sering melupakan faktor lain tersebut, diantaranya air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar. 
            Dalam makalah ini akan dibahas apa dan bagaimana paradigma baru untuk program gizi yang mendorong dipakainya pola pertumbuhan dan status gizi anak sebagai salah satu indikator kesejahteraan. Oleh karena paradigma program gizi terkait dengan pemahaman akan arti istilah gizi dan masalah gizi, Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi makro dan kurang gizi mikro Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein. Masalah gizi makro adalah masalah gizi yang utamanya disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan energi dan protein. Kekurangan zat gizi makro umumnya disertai dengan kekurangan zat gizi mikro.
Data Susenas menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang menurun dari 37,5 % (1989) menjadi 24,6 % (2000). Namun kondisi tersebut tidak diikuti dengan penurunan prevalensi gizi buruk bahkan prevalensi gizi buruk cenderung meningkat.
                Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita.
Masalah gizi dalam konsep system “input-outcome”. 
Gizi dan masalah gizi selama ini dipahami sebagai hubungan sebab- akibat antara makanan (input) dengan kesehatan (outcome). Pada satu pihak  masalah gizi dapat dilihat sebagai masalah input, tetapi juga sebagai outcome.  Dalam menyusun kebijakan harus jelas mana yang dipakai sebagai titik tolak  apakah input atau outcome. Apabila masalah gizi dianggap sebagai masalah  input maka titik tolak identifikasi masalah adalah pangan, makanan (pangan diolah) dan konsumsi. Apabila masalah gizi dilihat sebagai outcome, maka identifikasi masalah dimulai pada pola pertumbuhan dan status gizi anak. (lihat bagan)
Selama kebijakan program gizi mengikuti paradigma input, maka indikator masalah gizi akan mengikuti indikator agregatif pertanian dan ekonomi makro seperti produksi, persediaan (impor-ekspor), harga dan konsumsi pangan rata- rata. Indikator makro ini memberi gambaran masalah gizi rata-rata rumah tangga dan orang dewasa. Hukum Bennet misalnya memprediksi apabila pendapatan rata-rata rumah tangga meningkat akan diikuti perbaikan kualitas makanan (orang dewasa). Proporsi energi dari sumber karbohidrat menurun dan dari sumber lemak dan protein meningkat. Hukum Bennet tidak dapat menggambarkan apa yang terjadi pada diri anggota keluarga, terutama anak dan wanita hamil, apabila terjadi peningkatan pendapatan keluarga, termasuk eksesnya bagi orang dewasa perkotaan. Peningkatan konsumsi makanan hewani sumber lemak dapat menjurus ke masalah gizi lebih. Pendekatan agregatif semacam ini, tidak  menyentuh ukuran status gizi. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila pada suatu saat terjadi letusan gizi buruk pada masa persediaan pangan berlimpah. Indikator agregatif tidak akan menjangkau masalah gizi mikro. 
Paradigma outcome mengukur manusia bukan pangan atau uang. 
Paradigma ini memerlukan pemasyarakatan pentingnya memperhatikan berat badan baik pada anak maupun orang dewasa. Pada anak yang diperhatikan adalah pertumbuhan berat dan tinggi badan serta status gizinya. Pengertian bahwa anak sehat bertambah umur bertambah berat dan panjang perlu ditanamkan kepada setiap keluarga. Di perdesaan sudah lama diperkenalkan KMS untuk mencatat hasil penimbangan bulanan anak balita di Posyandu. Sayangnya fungsi Posyandu beberapa tahun terakhir ini tidak menentu arahnya. Penimbangan berat badan anak sebagai kegiatan pokok Posyandu  menjadi kegiatan sampingan  dan  tidak jelas manfaatnya.  meletusnya “wabah” gizi-buruk pada saat krisis ekonomi tahun 1997 dan 1998 sebenarnya dapat dicegah apabila kegiatan penimbangan di Posyandu berfungsi seperti keadaan tahun 1970 dan 1980-an. 

Pada masa itu kualitas pelayanan Posyandu menjadi kebanggaan nasional dan internasional. Untuk orang dewasa paradigma outcome menekankan pentingnya orang mencapai berat badan ideal dan mempertahankanya. Pesan itu menjadi pesan pertama dalam Pedoman Gizi Seimbang Amerika tahun 2000. Baru kemudian menyusul pesan lain bagaimana mengatur dan memilih makanan untuk mempertahankan berat badan.
PenyebabNgiziNburuk
            Banyak
faktor yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk. Menurut UNICEF ada dua penyebab langsung terjadinya gizi buruk, yaitu :
(1)   Kurangnya asupan gizi dari makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah makanan
 yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan.
(2)   Akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Hal ini disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik.

Faktor lain yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk yaitu:
(1) Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat;
 (2) Perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak;
(3) Pengelolaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai.

            Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 3 faktor penyebab gizi buruk pada balita, yaitu:
 (1) Keluarga miskin;
(2) Ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak;
(3) Faktor penyakit bawaan pada anak, seperti: jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran pernapasan
     dan diare.
IndikasiNGiziNBuruk
            Untuk KEP ringan dan sedang,
gejala klinis yang bisa dijumpai pada anak adalah berupa kondisi badan yang tampak kurus. Sedangkan gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar bisa dibedakan menjadi tiga tipe: marasmus, kwashiorkor dan marasmic-kwashiorkor.
Dua Tipe Gizi Buruk (Kwasiorkor dan Marasmus)
Kwasiorkor
Memiliki ciri:
1).  edema (pembengkakan), umumnya seluruh tubuh (terutama punggung kaki dan wajah)
      membulat dan lembab;
(2) pandangan mata sayu;
(3) rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut tanpa rasa
      sakit  dan mudah rontok;
(4) terjadi perubahan status mental menjadi apatis dan rewel;
(5) terjadi pembesaran hati;
(6) otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk;
(7) terdapat kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna
      menjadi coklat kehitaman lalu terkelupas (crazy pavement dermatosis);
(8) sering disertai penyakit infeksi yang umumnya akut;
(9) anemia dan diare.
Marasmus
Memiliki ciri-ciri:
(1) badan nampak sangat kurus seolah-olah tulang hanya terbungkus kulit;
(2) wajah seperti orang tua;
(3) mudah menangis/cengeng dan rewel;
(4) kulit menjadi keriput;
(5) jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy pant/pakai celan longgar);
(6) perut cekung, dan iga gambang;
(7) seringdisertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang);
(8) diare kronik atau konstipasi (susah buang air).

Adapun marasmic-kwashiorkor memiliki ciri gabungan dari beberapa gejala klinis kwashiorkor dan marasmus disertai edema yang tidak mencolok.
Pencegahan
            Beberapa cara untuk mencegah terjadinya
gizi buruk pada anak:
 (1) Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah itu, anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai pendamping ASI yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun.
(2) Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein, lemak, vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk lemak minimal 10% dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan sisanya karbohidrat.
(3) Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program Posyandu. Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika tidak sesuai, segera konsultasikan hal itu ke dokter.
(4) Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang dari rumah sakit.
(5) Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk proteinnya bisa diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin penting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil yang baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang permanen dan akan muncul masalah intelegensia di kemudian hari.
GagalNTumbuh
Gagal tumbuh adalah
bayi atau anak dengan pertumbuhan fisik kurang secara bermakna dibanding anak sebayanya.

Tanda-tandanya:
(a) Kegagalan mencapai tinggi dan berat badan ideal;
(b) Hilangnya lemak dibawah kulit secara signifikan;
(c) Berkurangya massa otot;
 (d) Infeksi berulang.

Faktor penyebab:
(1)   Faktor sosial, rendahnya pengetahuan masyarakat tentang pentingya makanan bergizi
      bagi pertumbuhan anak.
(2)   Faktor kemiskinan, rendahnya pendapatan masyarakat menyebabkan kebutuhan paling
      mendasar sering kali tidak bisa dipenuhi.
(3)   Laju pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan bertambahnya ketersediaan
      bahan pangan.
(4)   Infeksi, disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa
      menyerap zat-zat makanan secara baik.




  • Pada stadium ringan dengan perbaikan gizi.
  • Pengobatan pada stadium berat cenderung lebih kompleks karena masing-masing penyakit harus diobati satu persatu. Penderitapun sebaiknya dirawat di Rumah Sakit untuk mendapat perhatian medis secara penuh.
Kelambanan Indonesia menangani masalah gizi makro dalam bentuk gizi kurang dan gizi buruk ada kaitannya dengan kebijakan program gizi kita yang masih mengedepankan pangan, makanan dan konsumsi sebagai penyebab utama masalah gizi. Kebijakan ini cenderung mengabaikan peran faktor lain sebagi penyebab timbulnya masalah gizi seperti air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar.
Akibatnya program gizi lebih sering menjadi program sektoral yang masing-masing berdiri sendiri dengan persepsi berbeda mengenai masalah gizi dan indikatornya. Kebijakan ini dalam makalah ini saya sebut sebagai kebijakan dengan  paradigma input. Salah satu kelemahan paradigma input bagi program perbaikan gizi adalah digunakannya indikator agregatif makro seperti persediaan energi dan protein perkapita. Indikator ini tidak dapat menggambarkan keadaan sesungguhnya diri individu anggota keluarga terutama anak dan wanita. Paradigma ini tidak mengenal indikator pertumbuhan anak dan status gizi yang mengukur “the real thing”. Sudah saatnya indikator pertumbuhan dan status gizi anak menjadi salah satu indikator kesejahteraan. Untuk itu program gizi memerlukan pendekatan  paradigma baru, yang didalam makalah ini saya namakan paradigma outcome. Dengan paradigma ini beberapa  hal dibawah ini  memerlukan perhatian lebih besar dalam program gizi . 
Pertama, dalam menangani masalah gizi makro, khususnya kurang energi protein,  titik tolak kebijakannya terletak  pada  adanya  pertumbuhan dan status gizi anak yang tidak normal. Dengan demikian tujuan program adalah memperbaiki pola pertumbuhan anak dan status gizi anak dari tidak normal menjadi normal atau lebih baik. Oleh karena pola pertumbuhan dan status gizi anak tidak hanya disebabkan oleh makanan, maka pendekatan ini mengharuskan program gizi dikaitkan dengan kegiatan program lain diluar program pangan secara konvergen seperti dengan program air bersih dan kesehatan lingkungan, imunisasi, penyediaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan. Dengan program yang bersifat terintegrasi seperti itu, program gizi akan rasional untuk menjadi bagian dari pembangunan nasional secara keseluruhan. Kebijakan ini pada dasarnya telah diberlakukan pada Repelita II sampai VI dalam Bab Pangan dan Gizi. Sayangnya banyak kebijakan Repelita yang lalu tidak terlaksana dengan semestinya. 
Kedua, kegiatan pemantauan berat badan dan tinggi badan anak balita dan sekolah akan  menjadi modal utama bagi  program gizi. Survei gizi nasional secara periodik dan terprogram seharusnya menjadi kebijakan nasional seperti dilakukan di Thailand dan di banyak negara lain.  Pelaksanaannya dapat melalui Susenas  atau lembaga lain yang ada.  Kegiatan ini perlu didukung oleh sistem pemantauan status gizi anak yang representatif mewakili daerah-daerah yang tidak terjangkau survey gizi nasional. 
Ketiga,  revitalisasi Posyandu dikatakan berhasil apabila dapat mengembalikan fungsi utamanya sebagai lembaga masyarakat, terutama masyarakat desa  untuk memantau pertumbuhan anak. Kegiatan pendidikan dan pelatihan pada ibu-ibu bagaimana menimbang dan mencatat di KMS pertumbuhan berat badan anak  serta dapat mengartikan KMS dengan baik, merupakan kunci keberhasilan revitalisasi Posyandu. Kegiatan penimbangan diutamakan pada anak dibawah tiga atau dua tahun sesuai dengan perkembangan masalah yang diketahui dari hasil penelitian mutakhir. Tolok ukur lain keberhasilan revitalisasi posyandu ialah mengkoreksi kesalahan para petugas gizi dan kesehatan yang selama ini dilakukan yang menggunakan  KMS  sebagai catatan status gizi. Konsep penyimpangan pertambahan dari batas normal atau “growth faltering” sudah waktunya diajarkan dan latihkan kepada petugas gizi dan kesehatan serta kader. 
Keempat,  secara bertahap perlu ada “perombakan” kurikulum di lembaga pendidikan tenaga gizi di semua tingkatan untuk lebih memahami perlunya paradigma baru yang berorientasi  pertumbuhan dan status gizi anak sebagai titik tolak dan tujuan program. 






KESIMPULAN
Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori.
Faktor lain yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk yaitu:
(1) Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat;
(2) Perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak;
(3) Pengelolaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai.
Dalam menangani masalah gizi makro, khususnya kurang energi protein,  titik tolak kebijakannya terletak  pada  adanya  pertumbuhan dan status gizi anak yang tidak normal. Dengan demikian tujuan program adalah memperbaiki pola pertumbuhan anak dan status gizi anak dari tidak normal menjadi normal atau lebih baik. Oleh karena pola pertumbuhan dan status gizi anak tidak hanya disebabkan oleh makanan, maka pendekatan ini mengharuskan program gizi dikaitkan dengan kegiatan program lain diluar program pangan secara konvergen seperti dengan program air bersih dan kesehatan lingkungan, imunisasi, penyediaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan. Dengan program yang bersifat terintegrasi seperti itu, program gizi akan rasional untuk menjadi bagian dari pembangunan nasional secara keseluruhan.








DAFTAR  ISI
Anonim. 2007. Ciri-Ciri Kurang Gizi. Diakses 15 Desember 2008: Portal Kesehatan Online.
Anonim. 2008.
Kalori Tinggi Untuk Gizi Buruk. Diakses 15 Desember 2008: Republika Online.
Nency, Y. 2005.
Gizi Buruk, Ancaman Generasi Yang Hilang. Inpvasi Edisi Vol. 5/XVII/ November 2005: Inovasi Online
Notoatmojo, S. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu
Kesehatan Masyarakat. Cetakan Ke-2. Jakarta: Rineka Cipta
Disajikan oleh Dwi Trisnawati, Novita Kusuma Astuti, Nuraini, Nurhuda, Rian Motik, Sri Winahyu & Yulita Eka Fatmawati (Mahasiswi Akbid KH Angkatan 2008)





1 komentar:

  1. How To Play Baccarat | How To Play - FBCasino
    Baccarat is one of the most kadangpintar popular betting games in the gambling world. When it comes to playing the 바카라 사이트 game, you have to guess which hand to choose from. deccasino

    BalasHapus